Ritual Tulude : Ajarkan Move On di Tahun Baru


Di kota-kota besar, tahun baru umumnya identik dengan perayaan yang ditandai dengan peniupan terompet, kembang api, pesta musik, atau makan-makan. Di mana-mana akan ramai sampai jalanan macet, karena semua orang berhambur untuk berlibur. Di sosial media pun tak kalah heboh, postingan tentang tahun baru mulai dari resolusi sampai momen perayaan ramai di-upload.
Dari berbagai momen tahun baru yang pernah saya lewati, yang paling bermakna dan membekas adalah perayaan tahun baru di Pulau Tagulandang (Sulawesi Utara). Saat lonceng ke-100 di gereja berbunyi, maka tahun baru resmi dibuka. Pada saat itu, masyarakat bersalam-salaman, untuk saling memaafkan atas apa yang telah terjadi di tahun yang telah lalu. Mengingatkan pada hari raya Idul Fitri bagi umat muslim.
Suasana Upacara Adat Tulude di Kampung Bahoi (Dok. Tim SM3T IV Tagulandang)

Nah, setelah tanggal 1 Januari datang, masyarakat selanjutnya mengadakan upacara adat Tulude. Upacara adat untuk menyambut tahun baru yang biasa dilakoni masyarakat Sangihe Talaud (Ujung Utara Provinsi Sulawesi Utara). Ritual Upacara dilakukan atas kesepakatan masyarakat, entah dilakukan tiap RT, RW, kampung (desa), atau per kecamatan. Pelaksanaan bisa dilakukan sepanjang bulan Januari sampai Februari.
 Tulude merupakan tradisi yang kental sekali dengan nilai kebudayaan leluhur yang agung. Mengandung unsur spiritual dan bukan sekedar ekspresi spontan yang hedonis dan berujung pada kesenangan belaka. Tulude berasal dari kata ‘suhude’ (bahasa Sangir) yang berarti menolak atau mendorong. Lebih jauh, upacara Tulude dimaksudkan masyarakat untuk menolak terus bergantung pada apa-apa yang terjadi pada masa lalu, untuk kemudian siap menyongsong tahun yang baru1). Kalau orang sekarang, Tulude itu bisa dipadankan dengan istilah move on, merelakan semua hal di masa lalu. Sehingga, langkah di tahun baru akan lebih ringan tanpa bayangan masa lalu tersebut.
Beruntung saat bertugas di Pulau Tagulandang saya berkesempatan melihat sendiri acara Tulude dalam berbagai versi. Salah satunya adalah pesta adat Tulude yang diadakan di Kelurahan Bahoi. Saat itu, acara bertema ‘Melestarikan budaya adat adalah aktualisasi kepribadian bangsa yang bermartabat’ (13/12/2015). Meski hanya tingkat kelurahan, namun Bupati Kabupaten Sitaro, Toni Supit dan Istrinya turut hadir memeriahkan acara.

Prosesi Pemotongan Kue Adat Tamo (Dok. Tim SM3T IV Tagulandang)
Acara dimulai dengan penyambutan kedatangan bupati dan rombongan oleh tetuah adat setempat diiringi tarian budaya. Dilanjutkan dengan prosesi Muhiang Sake, pemotongan kue adat Tamo (Manuwang Kalu Tamo), pembawaan ucapan oleh tokoh adat (Manahulending Wanua), Sasasa, serta Saliwang Wanua yang berlangsung dalam bahasa etnis Sangihe dengan dialeg sub etnis Tagulandang. Meski saya tidak sepenuhnya mengerti karena bahasa yang digunakan berbeda dari percakapan sehari-hari, saya sangat dibuat kagum oleh kekhasan budaya Indonesia yang satu ini. Yang saya tahu, inti dari seluruh prosesi adalah ucapan syukur dan permohonan pada Tuhan untuk diberikan perlindungan serta pertolongan.

Suka cita dalam menari Empat Wayer (Dok. Tim SM3T IV Tagulandang)
Rangkaian acara Tulude tidak berhenti di malam itu. Melainkan dilanjutkan di malam berikutnya yaitu acara menari empat wayer (tari berpasangan dua orang-dua orang) semalam suntuk. Tarian ini dilakukan sebagai wujud suka cita masyarakat untuk menyambut tahun baru. Berbeda dengan Kampung Bahoi, acara Tulude di Kampung Bawoleu lebih praktis pelaksanaannya. Masyarakat Bawoleu lebih menekankan pada ibadah syukur yang digelar mulai dari tingkat lindongan (lingkungan), jemaat-jemaat, organisasi, dan kelompok masyarakat lainnya.

Apapun versi upacara Tulude yang dilakukan di Pulau Tagulandang, upacara penutupnya adalah ramah tamah. Acara ramah tamah adalah makan bersama semua warga yang hadir. Dan, berbagai makanan khas daerah akan ada di sana seperti nasi jaha, nasi bungkus, dan ketupat kuning. Tidak ketinggalan batata (ubi jalar), bete (ubi talas), dan singkong sebagai pengganti nasi. Lengkap dengan buah-buahan, aneka hidangan pencuci mulut, dan berbagai macam minuman. Semua makanan itu di bawah oleh warga dengan sukarela. Nilai kegotongroyongan memang kuat melekat pada pribadi warga pulau ini. 
Berbagai macam hidangan khas dalam upacara adat Tulude (Dok. Pribadi)

Terlepas dari bagaimana versi pelaksanaan upacara adat Tulude di Pulau Tagulandang, yang jelas masyarakat pulau mengerti makna perayaan tahun baru. Mereka memahami bahwa tahun yang telah berlalu telah menjadi masa lalu. Pahit manisnya, tetap harus disyukuri sehingga kita tidak perlu menenggok lagi ke belakang. Untuk kemudian bisa ringan untuk berpindah atau move on ke tahun yang baru.
Happy move on guys 
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

1)  Sem Muhaling. 2012. Upacara Adat Tulude (Sumber :http://budaya-indonesia.org)



Komentar